Mempersoalkan Patriarki dalam Kacamata Islam (2)

Sumber Gambar : bincangsyariah.com

Penulis : Kang Fikar


Sambungan...


Allah Maha Adil. Tidak mungkin Allah akan memuliakan pribadi manusia atas manusia. Hal tersebut ditegaskan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 229, yang artinya sebagai berikut : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS al-Baqarah [2]: 229)


Hukum-hukum Allah SWT dalam keluarga tersebut, lanjut Syekh al-Ghazali, merupakan standar dan batas untuk menjaga keluarga agar dapat berdiri dengan kokoh dan tidak kacau.


Syekh Nuruddin juga mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki tidak berarti mengabaikan peran perempuan. Sebab, kepemimpinan tersebut hanya menyangkut soal kemaslahatan keluarga, hak-hak suami istri, dan ajaran agama. Adapun pada selain hal tersebut, suami tidak boleh ikut campur. Di antaranya, pertama, suami tidak boleh ikut campur berkenaan dengan harta istri. Istri bebas menggunakannya dan suami tidak boleh ikut campur tanpa persetujuan istrinya.


Kedua, istri tidak wajib menaati suaminya kecuali dalam perkara yang dilegalkan syariat, seperti dijelaskan di atas.


Ketiga, tugas utama laki-laki sebagai pemimpin adalah mengatur urusan keluarga. Maka, selagi tidak melanggar hak suami dan hak Allah, suami harus menghormati setiap pilihan istrinya dan tidak boleh ikut campur tanpa persetujuannya.


Abidah al-Mu’ayyad, cucu Sayid Ali al-Thanthawi, menyebutkan bahwa di antara hak istri atas suaminya adalah hak berpendapat, sebagaimana ditegaskan oleh Allah:


"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS al-Baqarah [2]: 233).


Menurut Abidah, jika dalam urusan anak istri dimintai pendapat maka sudah semestinya ia lebih dilibatkan dalam semua urusan keluarga. Pun, Rasulullah SWT pernah meminta pendapat Ummu Salamah pada waktu perdamaian Hudaibiyah tentang urusan umat Islam dan Rasulullah SWT mengikuti pendapat Ummu Salamah. Jika dalam urusan yang umum istri dimintai pendapat, maka dalam urusan keluarga pun mesti demikian. Terlebih, anjuran untuk bermusyarah dalam surah al-Syura ayat 38 bermakna umum, mecakup juga urusan keluarga.


Baca Juga : Mempersoalkan Patriarki dalam Kacamata Islam (1)


Syekh Muhammad Baltaji mengungkapkan pendapat senada bahwa istri memiliki hak menyampaikan pendapatnya dalam urusan keluarga. Namun, keputusan akhinya tetap ada di tangan suami sebagai pemimpin dalam keluarga. Istri harus mematuhi keputusan suami selama keputusan tersebut dibuat dengan cara yang patut (ma’ruf), berdasarkan kemaslahatan, dan tidak bertentangan dengan syariat. Jika sebaliknya, maka istri berhak menolak dan tidak menerimanya.


Imam al-Qurthubi menegaskan:

“Ayat ini menunjukkan bahwa laki-laki yang bertanggung jawab mendidik kaum wanita. Jika mereka telah menunaikan haknya dengan baik maka suami tidak boleh berbuat buruk kepada mereka. Jadi, arti laki-laki pemimpin perempuan adalah dia yang bertugas mengurus, mengatur, mendidik, menjaga dan melarang mereka keluar rumah. Dan isteri wajib menaati dan menerima titahnya selama tidak berupa kemaksiatan.”


Jika melihat pendapat Imam al-Qurthubi di atas maka kepemimpinan laki-laki bersifat terbatas, tidak mutlak. Istri hanya wajib menaati dan mengikutinya ketika suaminya menjalankan kewajibannya dengan baik dan benar (ma’ruf) serta tidak berupa kemaksiatan. Ini berarti perempuan memiliki kebebasan menyapaikan pendapatnya dalam keluarga. Ia boleh, bahkan bisa jadi wajib, memberi nasehat dan masukan kepada suaminya tatkala ia tidak berlaku ma’ruf dan atau menyipang dari rel syariat.


Alhasil, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga tidak berarti otokratif, dominatif dan diskriminatif. Ia juga tidak bersifat mutlak, ia dibatasi oleh aturan-aturan syariat. Menurut Imam al-Qurthubi, jika suami tidak menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin dengan baik dan benar maka istri berhak melaporkan ke hakim dan mengajukan gugatan cerai (fasakh).


Jadi, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga sama sekali tidak dimaksudkan membatasi peran perempuan melainkan sekadar mengarahkan dan mengaturnya agar keluarga dapat berdiri kokoh dan tidak tercerai berai. Istri memiliki kebebasan menjalankan hak-haknya senyampang tidak menyalahi hak suami dan hak Allah. Suami harus menghormati dan tidak boleh ikut campur tanpa ada persetujuan darinya.


Selain itu, adalah imposible dan irasional mengebiri peran perempuan. Untuk apa? Bukankah dia mitra utama dalam keluarga? Sudah seharusnya dilindungi dan dijaga, bukan? Toh, perbedaan yang dimiliki laki-laki dan perempuan saling melengkapi bukan menegasi. Artinya, sebuah institusi keluarga akan sukes hanya ketika keduanya saling bersinergi bukan saling mendominasi.





Penulis adalah kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Zainul Hasan (UNZAH) Semampir, Kraksaan, Probolinggo.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama