![]() |
Sumber Gambar : https://www.qureta.com/uploads/post/43172_98212.jpg |
Islam Kosmopolitan
Diskursus tentang ke Islaman tidak akan pernah berhenti untuk dikaji dan habis untuk digali. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada titik terang. Justru, keterkaitan Islam dalam setiap elemen kehidupan tidak dapat terpisahkan.
Islam akan selalu relevan di mana pun dan kapan pun berada. Artinya, dalam setiap perkembangan zaman yang tak dapat terelakkan, Islam akan selalu hadir dan mampu menyesuaikan diri secara adaptif serta adoptif tanpa kehilangan jati diri.
Dari pemahaman ini, maka muncul-lah suatu adagium Ulama yang sangat arif bijaksana dalam menjawab perkembangan zaman, yakni; “Al-Muhafadhatu Ala Al-qadim Al-Shalih, Wa Al-Akhdu bi Al-Jadid Al-Ashlah”, artinya, menjaga tradisi klasik yang baik dan tetap relevan serta membuka diri mengadopsi tradisi modern yang lebih baik dan relevan.
“Islam bukanlah sebuah
tujuan, tapi Islam adalah washilah menuju Tuhan”. Konsep sederhana ini menjadi
ringkasan dari uraian panjang lebar yang mewakili gagasan dari dua tokoh populer
bangsa yang sampai saat ini masih menjadi banyak rujukan para intelektualis
atau pun para cerdik cendikia di Indonesia. Adalah Abdur Rahman Wahid (Gus Dur)
dan Nurcholis Madjid (Cak Nur) yang sedari awal sangat aktif meyuarakan
gagasan-gagasan keislaman yang progresif.
Dari kedua tokoh, Gus Dur dan Cak Nur, telah banyak menuangkan gagasan-gagasan keislaman yang telah terbukti mampu menjawab perkembangan zaman. Karenanya, Islam di Indonesia menjadi tidak rigid dan bahkan terus berkembang menyesuaikan perkembangan zaman. Sehingga kemudian, dari gagasan-gagasan tersebut memunculkan suatu teori baru yang mencerahkan dalam konteks kekinian, yang belakangan populer disebut dengan Islam kosmopolitan.
Islam bukanlah sebuah tujuan, tapi Islam adalah washilah menuju Tuhan
Kosmopolitan yang dimaksud tersebut ialah terurai dari tambahan adagium yang telah disebutkan di awal; “Wal Ijadu Bi Al-jadid Al-ashlah fa Fl-ashlah”, artinya, merekonstruksi keislaman yang stagnan menjadi dinamis dan berwawasan, serta menebar paham dan nilai-nilai keislaman yang menginspirasi pada seluruh elemen kehidupan, tanpa menekankan adanya sebuah paksaan untuk diterima.
Universalisme Islam
Dalam konteks keindonesiaan, Islam selama ini bisa melebur dan berbaur dengan keragaman yang ada. Perbedaan etnik, ras, tradisi, budaya, agama, ataupun adat istiadat tak menjadi halangan untuk bersatu demi menjaga dan membangun negara Indonesia bersama-sama. Slogan “Bhineka Tungga Ika” yang menjadi pilar pemersatu bangsa justru menjadi inspirasi umat Islam dalam mengamalkan nilai-nilai universal yang terkandung di dalam ajaran Islam.
Universalisme Islam meliputi nilai-nilai sosial, seperti persamaan hak dan kewajiban, keterbukaan, keadilan, kejujuran, kerukunan, toleransi, pluralisme dan multikulturalisme, yang dimana semua nilai-nilai sosial tersebut merupakan pilar kehidupan yang demokratis. Karena sejak semula Islam memang mengajarkan nilai-nilai tersebut. Terciptanya suatu masyarakat “Madani” yang diprakarsai oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah adalah bukti konkret adanya universalisme Islam.
Sehingga hasilnya,
Islam mampu bergaul dan berinteraksi dengan siapapun, di manapun dan kapanpun.
Dalam hal ini, lebih ditegaskan dalam sebuah adagium; “Al-Islam Shalihun Li Kulli Zaman Wa Makan”, artinya, kapanpun dan
dimanapun berada, Islam akan beradaptasi tanpa menghilangkan substansi ajarannya.
Justru, memberikan inspirasi dalam menciptakan stabilitas kehidupan peradaban
manusia.
Memahami secara utuh tentang keislaman akan menemukan keharmonisan hidup. Islam menjadi ‘the way of life’ yang menebarkan perdamaian
Para founding father bangsa Indonesia telah bersepakat membangun sebuah negara yang menerima dan menghormati semua yang ada di dalam bumi Nusantara. Semangat nasionalisme tumbuh secara natural dalam diri setiap warga negara, hal ini tentu tidak bisa terlepas dari perjalanan sejarah bangsa dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan segenap tenaga, air mata, darah hingga nyawa sekalipun, semuanya rela dikorbankan demi eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.
Tentu, tidak berhenti hanya sampai merdeka, selanjutnya, cita-cita dalam membangun bangsa yang mandiri, sejahtera, adil dan makmur, diperjuangkan kemudian. Kerenanya, Islam tentu selaras dan tidak keberatan sama sekali dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Sehingga, hadirnya motto “hubbul wathan minal iman”, menjadi titik tolak untuk membangun tegaknya jiwa nasionalisme, dan bahwa nasionalisme tentu tidaklah bertentangan dengan Islam. Justru, nilai-nilai Islam yang universal menjadi landasan hadirnya semangat nasionalisme.
Memahami secara utuh tentang keislaman akan menemukan keharmonisan hidup. Islam menjadi ‘the way of life’ yang menebarkan perdamaian. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam setiap sisi kehidupan tidak lantas untuk dipertentangkan. Adanya perbedaan justru menjadi anugerah untuk saling melengkapi.
Baca Juga : Merayakan Keberagaman Sekaligus Persatuan
Dalam konteks inilah gagasan dari dua tokoh besar yang mengagumkan ini layak ditampilkan dan dilestarikan. Jika Gus Dur hadir dengan inspirasi gagasan keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan, maka Cak Nur hadir dengan inspirasi gagasan yang menawarkan keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan.
Keduanya tentu tidak bisa terlepas dari pergumulan intelektual panjang yang melibatkan sisi spritual sekaligus, yang kemudian melahirkan kecerdasan dan kepedulian sosial. Representasi santri par excellence tampak dari keduanya, sebagai manusia yang shaleh ritual juga shaleh sosial.
*Penulis adalah kader GP Ansor Krejengan.
Posting Komentar