![]() |
Sumber Gambar : https://asset.kompas.com/crops/WsLNf18dVCoUK-yOKatTNNSZFZc=/0x85:1000x752/750x500/data/photo/2018/05/01/1101004732.jpg |
Perdamaian
memang bukan sekedar tidak adanya perang, tetapi perang adalah bentuk ekstrim
dari tidak adanya perdamaian (Ali, 1987: 353). Sejak permulaan sejarah
perdamaian telah dianggap sebagai karunia dan rahmat, dan sebaliknya, perang
dianggap sebagai malapetaka.
Islam,
baik eksistensi maupun esensinya telah dengan sangat jelas terkandung makna dan
cita-cita perdamaian dan kenyamanan manusia. Sekalipun demikian, tidak boleh
ditutup-tutupi berbagai peristiwa dalam sejarah Islam yang sepintas tidak
mencerminkan misi agama perdamaian. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, hanya
penerus pertama yang wafat dengan wajar, selain itu, wafat karena terbunuh.
Bagi –sekedar- pendengar sejarah Islam, hal ini merupakan peristiwa yang
mencoreng nama Islam sebagai agama yang dalam namanya sendiri tersirat makna
perdamaian.
Konflik
yang berbentuk peperangan seolah telah menjadi sebuah kebiasaan dalam perjalanan
setiap agama, tidak hanya Islam. Sebut saja, Kristen sebagai agama yang
ajarannya berdasarkan konsep kasih justru kisah masa lalunya ditandai dengan
konflik (Madjid, 1986: 155), lantaran perbedaan dalam menafsirkan ajaran agama,
perselisihan antara Protestanisme dan Katolikisme di Eropa.
Belakangan ini dunia di goncang oleh konflik yang berbentuk kekerasan, sedikit-banyak ada sangkut-pautnya dengan agama. Di Rohingya terjadi pembataiaan besar-besaran yang melibatkan kaum Muslim dan selain Muslim. Konflik antara agama juga terjadi di wilayah Irlandia Utara, kekerasan yang melibatkan umat Katolik dan Protestan di Belfast. Belum lagi isu mengenai umat Muslim akan dijaga (dicurigai) lebih ketat di Amerika Serikat, hal ini telah mencederai persaudaraan antar sesama manusia, dan tidak mencerminkan makna demokrasi sebenarnya.
Di Indonesia, sebagai negara yang terkenal ramah dan toleran terhadap beragam agama, masih terjadi konflik baik intern agama maupun antar agama. Sekalipun cara-cara pencegahan telah dilakukan, namun konflik yang didorong oleh nafsu lebih kuat daripada jiwa pencegahannya. Dari pembakaran Gereja dan Masjid hingga saling menistakan, baik yang disebabkan oleh kesalah pahaman maupun paham yang salah. Ada pula konflik intern agama, tentu yang terjadi dalam agama mayor, Islam. Dari yang murni disebabkan oleh perbedaan pendapat antar kelompok hingga karena ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik, demi kekuasaan.
Bagi
kehidupan manusia, agama memiliki peran yang sangat besar. Agama sebagai
pedoman hidup manusia tidak hanya mengatur hubungan seorang hamba dengan
Tuhannya, melainkan seluruh yang berkaitan dengan manusia, termasuk berbangsa
dan bernegara. Agama dan Negara tidak bisa
dipisahkan,
ia saling membutuhkan. Agama tidak akan berkembang tanpa ada fasilitas dari
negara, sedangkan negara akan kehilangan ruhnya tanpa dukungan dari ummat
beragama.
Di
Indonesia, Islam sebagai agama mayoritas memiliki kesempatan sekaligus tantangan
dalam gemelut negeri saat ini. Untuk menunjukkan Islam sebagai agama yang rahmatil lilalamin pemeluknya dituntut menciptakan
karya-karya kemanusiaan, berupa kedamaian, mewujudkan kehidupan negara lebih
demokratis, menegakkan nilai-nilai keadilan, dan membasmi penindasan. Tantangan
paling besar dalam menciptakan karya-karya kemanusiaan tersebut adalah kondisi
negeri yang penuhi oleh rasa sentimen, saling mencurigai, dan intoleran antar
setiap warga negara, baik karena perbedaan agama, maupun suku.
Penyebab
terjadinya intoleran ini adalah cara berpikir yang tertutup, tidak mampu
menghargai perbedaan, padahal perbedaan itu sendiri merupakan sebuah anugerah
yang memang sengaja Tuhan ciptakan. Setiap pemeluk agama merasa dirinya paling
benar, baik intern agama maupun antar agama.
Selain
itu, tidak semua warga negara mampu memaknai Bhinneka tunggal ika yang menjadi semboyan negeri Republik
Indonesia dengan baik dan benar. Cara berpikir yang eksklusif telah memudarkan
perayaan keberagaman sekaligus persatuan ini.
Interpretasi Islam Nusantara
Islam secara etimologi
berarti “keselamatan”, “kedamaian” atau “penyerahan diri secara total kepada
Tuhan” (Rostitawati, 2014: 153). Bila Islam diterjemahkan “perdamaian”, maka
maksud ayat Allah yang berbunyi “Sesungguhnya agama yang diridlai di sisi Allah
adalah Islam “agama perdamaian.” Dengan demikian, seorang Muslim adalah orang
yang menganut dan menebarkan agama perdamaian kepada seluruh umat manusia.
Kemanusiaan harus didahulukan daripada agama, sebab ajaran agama merupakan
wahyu Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan manusia tercipta untuk kepentingan
agama.
Dengan prinsip demikian, (kedamaian)
Islam menjadi agama untuk seluruh umat manusia. Perdamaian merupakan hal yang
pokok dalam kehidupan manusia, karena dengan kedamaian akan tercipta kehidupan
yang sehat, nyaman dan harmonis dalam setiap interaksi antar sesama. Dalam
suasana aman dan damai, manusia akan hidup dengan penuh ketenangan dan
kegembiraan juga bisa melaksanakan kewajiban dalam bingkai perdamaian.
Rasulullah SAW menyiarkan Islam
dengan damai, walaupun pada saat tertentu harus mengangkat pedang lantaran
membela diri juga merupakan sebuah kewajiban. Di dalam Islam, perang memang
tidak diharamkan, tapi lebih kepada pembelaan diri dari segala kemungkaran,
bukan untuk memaksakan kehendak.
Gerakan dakwah Wali Songo menunjuk
pada usaha-usaha penyampaian Islam melalui cara-cara damai, terutama melalui
prinsip maw’idhatul hasanah wa mujadalah
billati hiya ahsan, yaitu metode penyampaian ajaran Islam melalui cara dan
tutur bahasa yang baik (Sunyoto, 2014: 122). Pada waktu itu, ajaran Islam telh
dikemas oleh para ulama’ sebagai ajaran yang sederhana dan dikaitkan dengan
pemahaman masyarakat setempat lewat proses asimilasi dan sinkritesasi. Wali
Songo mengedepankan proses penyebaran Islam (agar tidak mengganggu kedamaian
hidup masyarakat) daripada hasilnya, perolehan yang instan.
Perkembangan
Islam di Nusantara, khususnya di Jawa tidak begitu saja menggantikan kebudayaan
yang telah ada. Sebagaimana yang telah tercatat dalam sejarah, Nusantara kaya
akan budaya. Oleh karena itu tidak bisa dipertentangkan antara Islamisasi
Nusantara dan menusantarakan Islam. Islam Nusantara ditandai dengan kerukunan,
bahkan Walisongo sebagai penyebar Islam di Nusantara pertama kali lebih
mementingkan keamanan dan kenyamanan rakyat daripada langsung menyebarkan
agama. Seperti yang dilakukan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim yang terlebih
dahulu memenuhi kebutuhan dasar manusia daripada langsung mengajarkan apa itu
Islam (Sofwan, 2004: 32).
Metode
pengembangan dan penyiaran Islam yang ditempuh oleh para wali sangat
mengutamakan hikmah kebijaksanaan. Mendekatkan rakyat dengan penguasa secara
langsung dengan menunjukkan kebaikan ajaran Islam, memberikan contoh budi
pekerti yang luhur dan kehidupan sehari-hari serta menyesuaikan situasi dan
kondisi masyarakat setempat, sehingga tidak sedikitpun tergores kesan bahwa
Islam dikembangkan oleh para wali dengan jalan kekerasan dan paksaan.
Sebaliknya, masyarakat tertarik karena ketinggian pribadi, dan memandang para
wali itu sebagai suri teladan dalam segala aspek kehidupan (Sofwan, 2004: 15).
Sebenarnya
sejak abad ke-7 M, masyarakat Nusantara telah dipengaruhi oleh ajaran agama
Hindu dari India. Namun bagi masyarakat yang telah memiliki hubungan sangat
erat dengan budaya mereka, perubahan keyakinan Animisme ke Hindu tidak terlalu
banyak membawa perubahan yang berarti. Kepercayaan Animisme tetap kekal
meskipun secara formal mereka telah beragama lain. Nusantara sejak abad ke-13
diwarnai oleh konsep Hindu atau sebelumnya telah dipenuhi konsep dewa-raja.
Konsep dewa-raja meyakinkan masyarakat bahwa raja adalah orang istimewa dan
memiliki unsur-unsur keistimewaan serta kemuliaan tertentu yang terpilih.
Manusia terpilih harus diterima sebagai raja dan berhak serta layak menduduki
tempat tertinggi dalam masyarakat. Kelayakan menduduki tempat tertinggi ini
dilegitimisasi oleh kepercayaan bahwa raja adalah penjelmaan dari dewa yang
dalam agama Hindu setaraf dengan Tuhan (Maharsi, 2011: 227).
Kehadiran agama Islam dalam
kehidupan masyarakat Nusantara sama sekali tidak menghapus yang berkaitan
dengan konsep dewa-raja. Bahkan dalam beberapa segi, Islam terlihat menguatkan
lagi pengesahan kedudukan raja itu dengan sedikit perubahan. Raja-raja tidak lagi
berasal dari para dewa tetapi merupakan khalifah atau wakil Allah di dunia.
Mereka memiliki gelar sebagai bayangan Allah dan berperan memberi perlindungan
kepada masyarakat. Raja tetap merupakan orang terpilih karena memiliki
sifat-sifat yang lebih daripada manusia biasa. Di samping itu ia memiliki
kuasa-kuasa yang khusus dianugerahkan Allah kepadanya. Keyakinan yang muncul
melalui agama Hindu tentang kedudukan raja di masyarakat, diperkukuh lagi
dengan diperkenalkannya istilah sultan.
Dari sekilas sejarah tersebut, jelas
terlihat bahwa Islam Nusantara telah berhasil menginterpretasikan istilah Islam rahmatal lilalamin dengan
sempurna. Islam yang berguna tidak hanya kepada penganutnya, melainkan bagi
seluruh ciptaan. Menyebarkan agama bukan berarti menjajah tradisi yang telah
ada sebelumnya, melainkan mengingatkan bahwa ada agama yang benar. Islam yang
diciptakan sebagai bekal kehidupan manusia inilah yang dimaksud dengan Islam
rahmatan lilalamin atau agama yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia.
Karena konsep kemanusiaan yang tidak memandang secara parsial harkat dan
martabat umat manusia, baik secara individu maupun kelompok.
Baca Juga : Islam Kosmopolitan dan Universalisme Islam : Sebuah Perkenalan
Di tengah kecenderungan sebagian umat Islam untuk
mendakwahkan Islam dengan jalan kekerasan, maka “jalan damai Islam” yang fondasinya
telah diletakkan para ulama Nusantara bisa dijadikan solusi untuk menyelesaikan
konflik dan ketegangan (Ghazali, ). Harapannya, melalui jalan damai ini
kemajuan di berbagai aspek kehidupan bisa dicapai. Bukankah dalam suasana
damai, umat Islam bisa bekerja lebih produktif dengan mengembangkan ilmu
pengetahuan, dan memperbaiki pereokonomian umat.
Ad-Dar as-Salam, Bukan ad-Dar al-Islam
Kehidupan individu
manusia yang baik menjanjikan Negara yang baik pula. Begitupun sebaliknya,
dalam suatu negara yang buruk warga Negara tidak akan mampu mencapai hidup yang
baik. Ada timbal balik yang sangat kuat antara kehidupan individu manusia
dengan Negara. Indonesia berdasarkan UUD 1945 berkewajiban menjamin dan
melindungi seluruh warganya tanpa kecuali. Jelasnya negara berkewajiban
menjamin dan melindungi hak-hak warga Negara dalam beragama sesuai dengan
keyakinannya, hak mendapatkan pendidikan, kebebasan berorganisasi dan berekspresi.
Kehidupan
manusia di dunia, baik sebagai individu maupun kelompok membutuhkan tuntunan
agama. Memang pada hakekatnya agama diciptakan untuk kepentingan manusia, bukan
manusia yang tercipta untuk kepentingan agama (Hidayat, 1998: 41). Oleh karena
itu, antara agama dan Negara, harus saling melengkapi dalam membimbing kehidupan
kemanusiaan.
Hubungan agama dan Negara telah menjadi suatu perdebatan yang cukup hangat dalam wacana sejarah dan kancah perpolitikan peradaban manusia. Dilihat dari perspektif pemikiran agama dan politik, secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga pola hubungan Negara dan Agama (Ismail, 2002: 64). Pertama, pola hubungan Agama dan Negara yang sama sekali terputus. Pola ini terlihat jelas pada sistem pemerintahan Negara-negara sekuler, dalam pemerintahannya tidak poros hubungan konstitusional, struktural, dan fungsional antara agama dan Negara. Agama sangat dibatasi ruang lingkup wilayahnya dan menjadi urusan individu dan disisihkan dari rana persoalan politik pemerintahan dan kenegaraan.
Dalam sejarah yang sangat terkenal mengenai Negara sekuler berawal sejak abad pertengahan, dimana cekaman dan genggaman otoritas gereja terlalu kuat, bahkan terlalu mencekam dan membelenggu kebebasan berpikir manusia, maka akhirnya masyarakat Barat melakukan perlawanan terhadap otoritas gereja dan lahirlah sekularisme yang prosesnya telah selelsai pada pertengahan abad ke-20.
Di kalangan Muslim, Turki modern –sebagaimana telah banyak yang menulis ulang tentang sekularisme di Turki, bahkan Soekarno pun menanggapi perubahan sistem perintahan yang terjadi di Turki saat itu- sebelum menjadi Negara sekuler, pada masa perintahan Turki Utsmani secara mantap didasarkan pada asas agama, hal ini ditandai dengan adanya pengadilan-pengadilan agama yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan perkara-perkara hokum keagamaan yang muncul di Negeri tersebut. Menjadi Negara sekuler, sejak Mustafa Kemal Attaturk mengambil alih kekuasaan politik dan mendominasi tampuk pemerintahan di Turki. Sejak itu sistem pemerintahan di Turki berubah secara drastis, dari kesultanan diganti menjadi sistem pemerintahan Republik, pengadilan agama diganti dengan pengadilan yang berorientasi pada hokum Swiss, dan sekolah-sekolah agama banyak yang ditutup.
Kedua, pola hubungan formal antara agama dan Negara. Formalisasi hubungan agama dan Negara dalam sistem pemerintahan dan pola kenegaraan semacam ini menjadikan agama sebagai dasar Negara secara resmi dan konstitusinya(Ismail, 2002: 72). Dalam Negara seperti ini, hukum agama diterapkan dan dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku, dan apa adanya. Pencuri dihukum dengan dipotong tangannya, dan pezina pasti dihukum rajam sesuai dengan ketentuan hokum Islam.
Ketiga, hubungan agama dan Negara yang bersifat tidak formal. Hubugan yang tidak formal ini, bukan berarti peran agama dan Negara saling berebut untuk mendominasi, melainkan saling melengkapi. Dalam sistem pemerintahan ini, agama tidak dipandang sekedar secara formal, melainkan agama dianggap tidak bisa dipisahkan dengan spiritualitas.
Sistem pemerintahan seperti ini yang diterapkan dan dilaksanakan oleh Indonesia –sekalipun merupakan Negara yang penduduknya beragama Islam terbanyak di Dunia- sistem pemerintahannya tidak didasarkan pada agama tertentu. Dengan demikian, Indonesia bukan Negara agama, juga bukan Negara sekuler. Embirio pemerintahan seperti ini sesungguhnya telah ditanam oleh penyebar agama Islam awal di Nusantara.
Adanya orams-ormas keagamaan telah membuktikan kepedulian agama terhadap keutuhan NKRI. Sebagai contoh, peran NU dalam kemerdekaan Indonesia. Dalam hal ini, dapat dianggap cukup dari cerita Zuhairi Misrawi (2010: 84) tentang komitmen kebangsaan seorang pendiri oraganisasi tersebut, Hadaratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
KH. Hasyim Asy’ari menentang keras segala bentuk penjajahan asing terhadap negeri tercinta. Pada masa kolonialisme, ia menghimbau segenap umat Islam agar tidak melakukan donor darah kepada belanda. Ia juga melarang para ulama’ mendukung belanda dalam pertempuran melawan jepang. Belanda adalah penjajah, dan segala bentuk penjajahannya sama sekali tidak dibenarkan oleh Islam.
Beliau tidak hanya menghimbau dengan perkataan dan tulisan, tapi juga mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk melawan segala kemungkaran yang dialami oleh negeri tercinta dengan prilaku atau tindakan. Hal yang senada diungkap oleh cucunya, KH. Salahuddin Wahid (2010: XIX), pengaruh KH. Hasyim Asy’ari yang begitu besar tidak hanya atas dasar kecerdasan, kealiman, kedalaman dan keluasan ilmu beliau, tetapi terutama atas dasar akhlak beliau. Pada tahun 1937, KH. Hasyim Asy’ari ditawari bintang kehormatan –yang tebuat dari perak dan emas, oleh Ratu Belanda Wilhelmina. Namun dengan tegas beliau menolak penghargaan tersebut sembari menasehati para santrinya di Pesantren agar tidak mudah tergiur dengan godaan penjajah.
Dalam hal kemerdekaan dan keutuhan NKRI berlaku kaidah tidak ada kompromi dengan orang-orang dzalim yang telah menidas segenap anak bangsa. Sikap tegas tersebut dilakukan oleh KH. Hasyim Asy‘ari dalam rangka menunjukkan kedaulatan dan kemerdekaan setiap warga dari segala belenggu penjajah. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika beliau dapat disebut sebagai Hadaratussyaikh, dalam tradisi arab gelar ini disandangkan kepada seorang yang memiliki keutamaan ilmiah dan keilmua yang tinggi. Sedangkan perilaku KH. Hasyim Asy’ari sesuai dengan karakter seorang ulama’ yang teguh dalam pendirian dan tidak mudah diiming-imingi hadiah duniawi.
Hingga saat ini teladan pendiri NU itu tetap terjaga, semua penerusnya memiliki komitmen untuk menjaga keutuhan NKRI, bagi mereka, keutuhan NKRI adalah harga mati. Dalam hal lain, sama sekali tidak ada paksaan bahkan dianjurkan menjalin hubungan baik dengan agama dan suku yang berbeda –sebab sebuah bangsa tidak akan bisa membangun demokrasi dalam keberagaman tanpa adanya toleransi. Demokrasi dan toleransi ibarat dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Satu sama lain saling menyempurnakan. Bila salah satu di antaranya hilang, lenyap pula kekuatan yang lainnya. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang ototarianistik. Sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo-toleransi, yaitu toleransi yang rentan menimbulkan konflik-konflik komunal (Misrawi, 2010: 239)- namun mengenai keutuhan NKRI, seluruh yang mengganggu harus dilawan.
Mengenai hal ini, KH. Asy’ari menegaskan, manusia adalah mahluk yang senantiasa berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Beliau memberi arahan perihal pentingnya perkumpulan, persatuan, kebersamaan, dan kasih sayang. Nilai-nilai tersebut merupakan sebuah keniscayaan untuk membangun toleransi di antara sesama umat.
Selain peran agama dalam pemerintahan dimana hubungan Negara dan agama berjalan dengan baik secara tidak formal, Negara juga mengambil peran dalam melayani, membimbing dan membina kehidupan beragama warga Negara Indonesia.
Eksistensi Departemen Agama merupakan bukti nyata keterlibatan Negara dalam menangani dan mengurus masalah-masalah keagamaan di Indonesia (Ismail, 2002: 75). Selanjutnya, Faishal Ismail menegaskan bahwa keadaan ini telah berlangsung lama sejak berdirinya Republik Indonesia ini pada tahun 1945. Hal ini dapat diartikan Negara telah berperan secara fungsional dan juga bertindak secara aktif menjadi pengayom, fasilitator, dinamisator dan motivator bagi semua pelayanan kepentingan umat-umat beragama.
Untuk menegaskan bahwa Indonesia bukan merupakan Negara yang sistem pemerintahannya didasarkan pada agama tertentu (Islam), KH. Abdurrahman Wahid (2011: 81) sebagai cendiawan muslim dan juga pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia mengungkapkan bahwa sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan sia-sia mahluk yang dinamakan Negara Islam itu. Sampai wafat ia belum menemukannya, jadi tidak salah jika disimpulkan bahwa Islam memang tidak memiliki konsep bagaimana Negara harus dibuat dan dipertahankan.
Pandangan KH. Abdurrahman Wahid didasarkan kepada tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam. Islam tidak mengenal pndangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Dan juga besarnya Negara yang dikonsepkan Islam juga tidak jelas ukurannya. Dengan semikian, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Mengemukakan gagasan Negara Islam tanpa ada konseptualnya yang jelas, berarti membiarkan gagasan tersebut tercabik-cabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri.
Posting Komentar